Sunday, May 8, 2011

Pada Sepuntung Rokok

Pada sepuntung rokok
-Novie Andi

hampir setiap hari kita melangkah pada batang keraguan yang selalu rapuh terombang angin,
saat kita mulai mencoba percaya pada nasib,
selalu ada gentar menyelinap, berkelindan membentuk jaring yang makin hari makin kokoh,
apa sebegitu besar pesan dari masa lalu mengikat belikat kita tanpa ampun?

kita, tanpa menghiraukan peringatan samar
terus bermimpi tentang kehangatan dan basahnya ciuman dibawah hujan.

seolah lupa,
kalau ternyata yang terjadi adalah ceracau saling silang menjatuhkan
seolah entah kau atau aku adalah yang paling benar.
dan tak pernah ada 'kita' dalam kata sepakat.
selalu dan selalu hanya ada 'aku' atau 'kau'.

kemudian datang apa-apa yang tidak pasti yang berakhir dengan kata, 'mungkin'.

seperti penyusup yang mahir,
rupa takdir mulai tampak.
membuat kita berjalan saling memunggungi dengan prasangka yang entahlah nyata atau hanya tipuan terhadap naluri.
memisahkan kita,
seperti sepasang jiwa yang tak mengenal satu sama lain.

_Jakarta : 02.04

Saturday, May 7, 2011

Horeee....Akhirnya Dapet Juga ^_^

Lelaki Harimau - Eka Kurniawan



Haaaaah...tampaknya saya masih berjodoh dengan buku ini, setelah sekian ratus tahun mencari dan bertapa bersama para pencari ilham di puncak-puncak gunung (agak hiperbola emang, tapi biar ah..)...akhirnya sodara-sodaraaa....bukunya dapet jugaaa hahahahaahaha! Yesss!! (langsung melakukan tarian memanggil hujan)..Secara, saya adalah penggemar berat karya-karya Eka Kurniawan, dan merasa harus memiliki semua buku karangannya...plus, saya agak suka genre-genre tulisannya. Serem-serem misterius agak-agak gak bisa ditebak gitu. Yaa...beda-beda tipis lah dengan saya (bagian misteriusnya lho ya, bukan seremnya).

Gak sabaaar pengen cepet baca...tapi sebelumnya pengen sesumbar sombong dulu disini, kalau saya sudah dapet buku ini...hehehehehe....Soalnya waktu itu nyari di toko buku ternama gak ada, di pameran buku juga gak ada, di Senen ampe Blok M, gak ada juga. Eeeh dilalahnya malah ketemu hari ini, jodoh tuh emang gak kemana ya...Waktu sibuk nyari malah ngilang, pas kita gak berusaha terlalu lebay malah datang sendiri. Haah...rahasia Tuhan itu emang asyik! Hehehe

Kenapa? Mau tau sinopsisnya? Boleeh...dikit aja yaaa...ini juga diambil dari cover belakang bukunya, jadi beginilah :

         Pada lanskap yang sureal, Margio adalah bocah yang menggiring babi ke dalam perangkap. Namun di sore ketika seharusnya rehat menanti musim perburuan, ia terperosok ke dalam tragedi pembunuhan paling brutal. Di balik motif-motif yang berhamburan, antara cinta dan pengkhianatan, rasa takut dan berahi, bunga dan darah, ia menyangkal dengan tandas. "Bukan aku yang melakukannya," ia berkata dan melanjutkan, "Ada harimau di dalam tubuhku".

Tuh kaaan seru kaaaan...??? Baiklah, tanpa banyak cincong, saya akan mulai membacanya malam ini. Semangaaaatt!!! ^_^

Lebay di Hari Sabtu

Menulis Cinta 
:Sitok Srengenge

Kauminta aku menulis cinta
Aku tak tau huruf apa yang pertama dan seterusnya
Kubolak-balik seluruh abjad
Kata-kata cacat yang kudapat

Jangan lagi minta aku menulis cinta
Huruf-hurufku, kau tau,
bahkan tak cukup untuk namamu

Sebab cinta adalah kau, yang tak mampu kesebut
kecuali dengan denyut



Ah....maknanya sungguh dalam sekali. Berkali-kali saya baca puisi ini, berkali juga hati saya terasa tersayat. Andai saya bisa dicintai seindah itu. Alangkah beruntung dan bahagia hidup saya.
Tapi, percintaan itu ternyata tak melulu tentang cinta. Ada  banyak hal untuk dipertimbangkan dan ditoleransikan. Kalau hidup berdampingan itu semudah berkata dalam puisi cinta, alangkah tak adilnya. Karena untuk menjadi manusia yang 'besar' dan penuh kasih, torehan luka kecewa juga pengorbanan sangat perlu hadir. Hidup itu untuk bertambah dewasa dan bijak, bukan bertambah hina dan terpuruk. 

Semoga cinta itu agung seperti layaknya. Dan semoga memang cinta seperti itu benar-benar ada.

Friday, May 6, 2011

Buku Bacaan Baru

“Apakah mungkin kita mengajak berunding maling yang masuk ke rumah kita?”-Tan Malaka

Saya membaca kalimat itu dari salah satu blog pada saat saya mencoba mencari tahu tentang Tan Malaka. Sebelumnya saya minta saran dari pacar saya tentang buku apa sih yang bagus dan tidak terlalu berat untuk dibaca, karena akhir-akhir ini saya merasa agak bosan dengan buku-buku bacaan yang ada dilemari buku saya. Dan karena pacar saya adalah salah satu penggemar berat karya-karya dan kepribadian Tan Malaka, maka secara gamblang pacar saya memberikan beberapa judul buku karya Tan Malaka. (Hmm... jadi inget, dulu awal kenal sm dia juga gara-gara ada pementasan Tan Malaka di Salihara, walaupun akhirnya gak sempet liat karena keabisan tiket, tapi yang terjadi malah yang lain...hahahahaa...haiissshhhh curcol!!)..

Singkat kata, pacar saya mengajukan salah satu buku karya Tan Malaka yang berjudul Dari Penjara ke Penjara (jilid 1 sampai 3). Buset, udah karya Tan Malaka, 3 jilid pula!, pikir saya. Tapiii apa salahnya mencoba kan? Jadilah, dengan sedikit penasaran (hehehehe) saya mencoba googling di internet. Lalu muncullah beberapa link blog-blog dan toko buku online

Maksud hati ingin cari buku Dari Penjara ke Penjara, saya malah diantarkan ke buku MADILOG, masih karya Tan Malaka juga. Hmm...malah semakin penasaran setelah di salah satu jejaring sosial, banyak sekali komentar orang-orang mengenai buku ini dan penulisnya. Lalu saya berucap dalam hati..."apa saya sudah ketinggalan jauh ya? karena sudah mulai lupa sejarah dan tidak peduli dengan kebrengsekan negeri ini sehingga saya mulai secara tidak langsung tidak menghiraukan keadaan sebenarnya dari penghuni Indonesia ini? Apa saya sudah mulai menjadi batu?"

Ah..betapa beruntungnya saya, masih dikasi kesempatan untuk tau apa yang seharusnya saya tau sejak dulu. Sejarah Indonesia yang sebenarnya. Mengingat waktu wawancara kerja, beberapa tahun yang lalu, ada pertanyaan mengenai Soeharto dan Orba serta segala tetek bengeknya. Dengan lugas saya menjawab, 'Maaf, saya tidak percaya sejarah. Semenjak SD saya dicekoki tentang kejayaan pemerintah dengan segala intrik yang mulus, sehingga kita tidak menyadari apa yang sebenarnya terjadi, dan setelah manusia Indonesia mulai pintar menguak semuanya, yang saya temui cuma kebohongan. Jadi buat apa saya percaya dengan sejarah? Kalau justru sejarah yang mengkhianati saya.'

Hehehe...sok gaya ya jawaban saya. Tapi memang benar. Seperti itulah yang saya rasakan. Saya tidak percaya sejarah. Dan berusaha mengubur semua ingatan saya tentang segala hal yang berkaitan dengannya. Padahal, sejarah adalah mata pelajaran favorit saya setelah bahasa Indonesia. Ironis. Saya dikhianati dari dalam oleh sesuatu yang selalu mereka gembar gemborkan sebagai hal yang HARUS di BANGGAkan. Kalau sesuatu itu justru menikam kita apakah masih tetap harus dipertahankan? Kalo iya, cape deeh...hehehehe

Kembali ke topik.

Disini saya tidak akan menulis banyak tentang Tan Malaka. Karena jujur saja, saya hanya mengenal sebatas nama, belum mengenal jauh tentang beliau apalagi karya-karyanya, hanya sebatas nama. Dan gara-gara 'racun' dari pacar kesayangan saya itu, akhirnya saya jadi penasaran dengan  Tan Malaka. Dan keputusan pertama saya adalah, saya akan mulai mencoba membaca karyanya yang berjudul MADILOG : MAterialisme DIalektika LOGika.

Sebelumnya, atas hasil intipan dari sana sini, dan walaupun sudah agak ketinggalan jaman, saya mau berbagi sedikit tentang biografi Tan Malaka.

Ibrahim gelar Datuk Tan Malaka adalah nama asli dari Tan Malaka yang lahir di Pandam Gadang, Suliki, Sumatera Barat, 19 Februari 1896 dan meninggal pada 16 April 1949 di Kediri Jawa Timur.  Tan Malaka adalah seorang pejuang yang militan, radikal dan revolusioner yang banyak melahirkan pemikiran-pemikiran yang berbobot dan berperan besar dalam sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia. Dengan perjuangan yang gigih maka ia dikenal sebagai tokoh revolusioner yang legendaris. Dia kukuh mengkritik terhadap pemerintah kolonial Hindia-Belanda maupun pemerintahan republik di bawah Soekarno pasca-revolusi kemerdekaan Indonesia. Walaupun berpandangan sosialis, ia juga sering terlibat konflik dengan Partai Komunis Indonesia (PKI).

Tan Malaka menghabiskan sebagian besar hidupnya dalam pembuangan di luar Indonesia, dan secara tak henti-hentinya terancam dengan penahanan oleh penguasa Belanda dan sekutu-sekutu mereka. Walaupun secara jelas disingkirkan, Tan Malaka dapat memainkan peran intelektual penting dalam membangun jaringan gerakan sosialis internasional untuk gerakan anti penjajahan di Asia Tenggara. Ia dinyatakan sebagai "Pahlawan revolusi nasional" melalui ketetapan parlemen dalam sebuah undang-undang tahun 1963.

Para cendikiawan dan sejarahwan seperti Mohammad Yamin, Prof. Anhar Gonggong, Dr. Alfian (LIPI) dan lain-lain, mengakui Tan Malaka sebagai Bapak Republik Indonesia. Para pejuang dan pimpinan bangsa seperti Mr. Sartono (Ketua DPR tahun 1957), Jenderal Ali Sadikin Mantan Menteri Perhubungan Laut dan Mantan Gubernur DKI Jakarta, mengakui Tan Malaka telah memberi inspirasi kepada para pejuang kemerdekaan Indonesia. Dia lah pendiri sekolah rakyat pertama, yang juga menyusun kurikulumnya, dan digunakan sebgai standar kurikulum hingga masa sekarang. Jenderal AH. Nasution, tokoh militer Indonesia mengakui Tan Malaka sebagai ahli ilmu militer Indonesia. “Saya membaca semua tulisan saudara Tan Malaka dan saya tahu bahwa beliau adalah pecinta tanah air dan bangsa serta sosialis sepenuhnya,” Ujar Presiden Soekarno. Soekarno-Hatta menyadari apabila mereka berhalangan untuk mempimpin, maka yang akan memimpin revolusi dipercayakan kepada Tan Malaka -Currliculum Vitae Tan Malaka di buku “Dari Penjara ke Penjara” jilid 1.

Semua karya Tan Malaka dan permasalahannya didasari oleh kondisi Indonesia. Terutama rakyat Indonesia, situasi dan kondisi nusantara serta kebudayaan, sejarah lalu diakhiri dengan bagaimana mengarahkan pemecahan masalahnya. Cara tradisi nyata bangsa Indonesia dengan latar belakang sejarahnya bukanlah cara berpikir yang teoritis dan untuk mencapai Republik Indonesia sudah dia cetuskan sejak tahun 1925 lewat Naar de Republiek Indonesia.

Buku-buku karya Tan Malaka :
  • Menuju Republik Indonesia (1924)
  • Dari Pendjara ke Pendjara, autobiografi
  • Madilog (1948)
  • Gerpolek (1948)
  • Parlemen atau Soviet (1920)
  • SI Semarang dan Onderwijs (1921)
  • Dasar Pendidikan (1921)
  • Islam dalam Tinjauan Madilog (1948)
  • Semangat Muda (1925)
  • Massa Actie (1926)
  • Pandangan Hidup (1948)
  • Kuhandel di Kaliurang (1948)
  • Muslihat (1945)
  • Pari International (1927)
  • Rencana Ekonomi Berjuang (1945)
  • Aslia Bergabung (1943)
  • Pari dan Nasionalisten (1927)
  • Pari dan PKI (1927)
  • Politik (1945)
  • Manifesto Bangkok(1927)
  • Proklamasi 17-8-45 Isi dan Pelaksanaanya (1948)

Huff...kalau dilihat dari tahun terbitnya, memang sudah jelas-jelas saya belum lahir, jadi gak apa-apa dong kalo ngaku belum baca satu pun karyanya...ngeles.com hahahahaahaa

Oke deh, tanpa banyak basa basi (karena udah kebanyakan juga) mari, kita baca karya-karya Tan Malaka! Supaya bisa mengerti dengan baik, sejarah "ASLI" bangsa kita. MERDEKAAA!!! ^_^





Thursday, May 5, 2011

Karena Hujan

Hari ini hujan sedari pagi. Langit Jakarta berwarna kelabu kusam. Udara juga terasa dingin. Tapi, ternyata tidak seperti dalam hatiku. Aku merasa panas. Panas yang kemarau...

Ada sekelumit rindu yang menyeruak pada kegelisahanku. Aku rindu saat hujan menekan sisi kepalaku. Memaksa pori-pori kulitku menerima penuh limpahan air yang seolah tiada henti. Lalu menentramkanku dalam gigil yang nikmat. Ah..ya, disini hujan terlalu ramai. Terlalu berbahaya. Karena disini aku tidak bisa berlari leluasa sambil merentangkan tanganku. Menyusur lapisan tanah yang tergusur sambil menari bersama angin. Disini sudah penuh dengan jutaan besi egois yang ditunggangi manusia yang tak kalah egoisnya. Aku tak merasa bebas lagi.

Lalu aku rindu pada kecupmu.

Ciuman pertamaku yang kau rampas dengan paksa. Lidahmu yang bermain dalam mulutku. Menghisap pelan segala egoku dan membuat tanganku pasrah membelai belakang kepalamu. Nafasmu yang terasa tawar dan beraroma rokok Marlboro..ah, dan juga ada sedikit rasa kopi hitam. Aku rindu bibir itu.

Ya, semua terjadi karena hujan.

Kita bertemu setelah hujan reda. Bercinta juga setelah hujan reda. Dan berpisah..setelah hujan reda.

Aku tak pantas menyebutmu kekasih. 
Walau kadang tubuh ini bergetar saat mulai mengeja namamu. Merindukan suara manjamu. Menemanimu sampai terlelap. Membayangkan seolah aku ada disana memeluk tubuh hangatmu. Ah..aku tetap bukan seorang kekasih bagimu. Karena sesungguhnya aku sudah berkasih dengan seseorang yang lain. Yang kupanggil kekasih. Yang memanggilku kekasih. Yang berujar cinta padaku, dan aku yang selalu belajar untuk mencintainya. Sialnya. Kau selalu membuatku  kembali pada kenangan saat hujan datang.

Kini katakan dengan jelas. Kalau hari ini hujan tak jua berhenti, apakah aku harus berlari menujumu, meredakan gumpalan kegusaranku, supaya besok matahari bisa terik lagi? Lalu, relakah kau, bila aku menjadi bisu atas pernyataan hatiku terhadapmu? 

Aku rindu pada hujan setiap saat, sebanyak air yang jatuh itulah, limpahan rasaku padamu. 

Tapi aku akan menikah.
Harus menikah. 
Dengan seseorang yang kupanggil kekasih, dan yang memanggilku kekasih. Atas nama janji.Atas nama masa. Atas nama rasa. Kekasih itu bukan kau. Bukan kau yang melenguh menyebutku sayang saat kita khusyuk dalam peluh. Dia. Dia yang tak pernah kulihat wajahnyalah yang berhak atasku.
Bukan kau.

Ah. Lalu semua ini lagi-lagi karena hujan.
Karena hujan.



to be continue...

Kesimpulannya...

Maaf.

Sebelumnya saya mau minta maaf. Atas apa yang akan saya ceritakan nanti disini. Tentang puisi. Tentang kegandrungan saya menulis, yang sudah saya nikmati sejak di Sekolah Dasar dulu. Gara-gara guru Bahasa Indonesia saya yang dengan senang hati 'meracuni' saya dengan segala karya sastra, sebutlah Siti Nurbaya, Atheis, Layar Terkembang dll. Saya dibuatnya jatuh hati. Mati penasaran, kalau belum membacanya sampai tuntas. Kelompok kata-kata itu membuat saya membenci angka, membenci segala yang tak mampu bercerita, sekaligus memaksa saya menikmati seni: lukisan, musik, gerak, pun dalam geliat kata, puisi.

Ya. Dulu saya mampu mendekam dalam kamar semalaman, menulis dan menulis tentang puisi. Tanpa saya mempelajari dasar penulisannya seperti apa, akan mengikuti gaya apa dan siapa. Saya hanya terus menulis, menulis dan menulis. Dulu saya menuliskan dalam kertas buram, yang biasa dipakai untuk coret-coret waktu ujian, kemudian disatukan dan saya simpan baik-baik. 

Beberapa waktu lalu saat pulang ke rumah dan membereskan kamar, dalam laci meja, dibungkus plastik, saya temukan lagi kumpulan tulisan itu. Ah...saya tertawa geli saat membacanya. Hampir semua tulisan saya berbau cinta dan sakit hati...padahal waktu itu, punya pacar aja nggak. Hahahahaha....

Haaah....belasan tahun sudah berlalu, dan saya masih saja terus menulis. Membuat galian dalam hidup. Memperkuat akar. Dan berusaha meninggalkan jejak yang jelas. Pun walau kehadiran saya masih tersamar. Saya masih menikmatinya.

Sampai saat itu. Ya saat matinya perasaan saya ketika membaca sebuah tulisan yang dikategorikan sebagai puisi. 

Tidak. Tulisan itu tidak jelek. Amat sangat bagus malah. Saya terkesima. Terdiam. Lalu merasa bodoh. Karena ternyata perjalanan saya sekian masa tidak berarti apa-apa. Saya masihlah sebesar kuman. Tak bernama. Hanya seperti kentut. 

Sejak saat itu saya kehilangan gairah untuk menulis. Semua tulisan teman-teman di jejaring sosial yang mampir di wall saya, satu-satu mulai tidak saya hiraukan. Lalu lama-lama malah saya lewatkan. Benar-benar sungguh mati minat saya. 

Apa ini hanya sebuah kebosanan sesaat? Atau pengakuan kekalahan dari sebuah karya yang mampu membungkam saya? Atau kepengcutan jiwa saya yang tidak mau mengakui keunggulan orang lain dalam berkarya? Atau.... saya memang sebenarnya tidak berbakat menulis? Atau...masih banyak atau-atau lainnya yang saya timpakan kepada diri saya.

Dan sampailah pada satu kesimpulan. Bukan hanya bosan, tapi juga melewatkan kesempatan berkali-kali. Padahal saya tau saya mampu. 

Hanya malas. Sudah. Itu saja.