Monday, January 17, 2011

Gombaligombalipret!

bilang, bintang yang berwarna apa yang kau mau, akan aku ambilkan
tidak. tidak pakai syarat apa-apa. aku ikhlas mengambilkannya untukmu.
sudah. jangan mengeluarkan air mata lagi. aku tahu, itu tanda kau bahagia atas kegombalanku.
dan aku tahu, kau menikmati ku-gombali, karena setiap kali itu kulakukan, wajahmu bersemu merah.
dan..kau makin cantik.

ini, ada mawar merah muda. wangi. kau bisa sematkan di sela rambutmu.
apa? kau mau aku yang menyelipkannya? baiklah. sini. dekat padaku. biar aku bisa menghirup segar rambutmu yang kelam itu.

sudah.
lihat. kau tambah cantik. warna merah mudanya, meresap di wajahmu. di pipimu. di bibirmu.
aku suka.

yuk, kita pergi ke atas bukit itu.
untuk apa?
tentu saja untuk bermasyhuk sayang, seperti orang-orang lain yang tertipu cinta.
sini, genggam saja tanganku.
jangan takut, aku tidak menggigit, hanya saja..jangan tampar aku, saat nanti aku mencuri-curi mencium pipi ranummu.

nanti, tepat saat senja datang, aku akan melamarmu.
lalu biarkan, 
biarkan matahari, langit, angin, rumput, tanah, bahkan cacing,
tahu dan jadi saksi atas aku.
oh bukan...ya benar,
atas aku dan kamu, sayang..


duhai...tawa renyahmu menggetarkan jiwaku, sayang.
hahahaha...aku jadi turut tertawa.
hatiku bahagia.
darahku berpacu cepat.
akalku berkata.
aku jatuh cinta.

_Jakarta

Saturday, January 8, 2011

Between In-Job and Jobless

Pernahkan teman-teman merasa 'stuck in the middle' ? berada di antara dua pilihan. Ibarat makan buah simalakama. Atau istilah apapun yang serupa. Kalau belum, kali ini saya mau sombong, kalau sekarang, saya sedang ada di pintu perlintasan itu.

Klise. Sangat manusia sekali. Puas dan tidak puas.

Ya, saya sudah bekerja. Pekerjaan saya berjalan dengan baik. Semua lancar-lancar saja. Walaupun sebenarnya, bukan di sini saya ingin berada. Bukan di ruangan yang itu-itu saja. Bukan di belakang meja. Bukan di samping jendela dengan pemandangan yang (lagi-lagi) itu-itu saja, ya, jalan raya dan gedung bertingkat lainnya. Intinya, saya bosan!
Saya sedang merasa sombong kepada Tuhan, atas ketidak puasan saya pada nikmat yang seharusnya selalu saya syukuri setiap saat. Ego. Hanya karena ego saya yang semakin hari semakin mengacaukan alur hidup saya. Atau, mungkin saya sendiri yang membuat hidup saya menjadi kacau.
Kalau mau cerita sejarahnya, dan mau dikaitkan dengan mistik, saya anggap pekerjaan saya yang sekarang adalah 'karma baik'. Karma atas ucapan saya kala itu dihadapan seorang teman, dan tampaknya, saat itu malaikat sedang main ke ruang tamu di rumah saya, jadi, dilaporkannyalah perkataan saya saat itu kepada Tuhan. Kun fa ya kun! Jadilah saya disini. Di kota ini, dengan pekerjaan ini. Hahahaa...Tuhan selalu punya cara terbaik untuk makhluknya.

Maaf, saya tidak menyalahkan Tuhan atas segalanya. Mungkin ini adalah jawaban atas doa saya waktu itu. Beberapa malam itu, saya memohonkan pekerjaan yang bisa untuk membahagiakan dan membanggakan orang tua dan keluarga saya, tapi, nampaknya saya lupa menambahkan, 'pekerjaan yang juga saya cintai'...

Saya tahu, tak sepantasnyalah saya berbicara ini, seolah saya adalah makhluk yang tak tau terima kasih. Tapi kali ini, bolehlah saya mengeluarkan semuanya. Biar lega. Biar tidak sebah lagi. Biar tidak busuk.

Sejak SMP dulu, saya sudah jatuh cinta pada kumpulan kata-kata yang kadang artinya sendiri saya tidak mengerti. Tapi entah, alurnya selalu mempesona saya untuk terus menikmatinya, bahkan berubah menjadi penggores kata-kata itu. 

Hmm...Pernah menahan buang air yang amat sangat? Bagaimana rasanya setelah keluar? Lega? Lowong? Kira-kira seperti itulah yang saya rasakan setelah saya trans dalam tulisan saya. Demi Tuhan. Kegiatan ini begitu menyandukan saya. 

Sekarang masalah yang timbul adalah konsentrasi saya terpecah. Antara pekerjaan yang saya jalani setiap hari, dengan kegiatan yang membahagiakan jiwa saya. Ah, andai saja saya bisa melakukan dua hal itu bersamaan, saya pasti jenius. Sayangnya, dua-duanya butuh kesungguhan. Saya harus benar-benar terjun, atau tidak sama sekali.

Sempat terpikir, 'apa saya sudahi saja ya pekerjaan ini, lalu saya benar-benar menyenangkan jiwa saya yang sedang terpuruk di sudut ruang 'rumah jiwa' saya?'...tapi, sekali lagi. Bukan saya yang tidak punya pendirian, kalau saya mau egois, saya bisa saja tinggalkan pekerjaan ini, dan menjadi 'gembel' tapi berhati senang. 

Sekarang yang ada, munculnya dua kata. Tapi dan bagaimana. Ya, berjuta 'tapi' dan 'bagaimana' selalu hadir saat saya benar-benar sendiri.
A. Tapi kalau saya benar-benar keluar dari pekerjaan saya, bagaimana dengan nasib keluarga saya? Ayah saya sudah pensiun pula, dengan dua orang adik yang masih sekolah. I'm the black sheep of the family now.
B. Tapi kalau saya memilih untuk mengikuti hasrat saya, bagaimana dengan hidup saya nanti? Apakah ada jaminan besok saya makan apa?
Diikuti dengan 'tapi' - 'bagaimana' lainnya.

Semalam, saya menonton film 'Alangkah Lucunya (Negeri Ini)'....pada akhir film, saya menangis. Merasa ditegur oleh setiap karakter dalam film itu. Ya. Benar-benar ditampar. Keras dan membekas. 

Sekali lagi, saya telah egois. Pada diri saya, juga pada orang-orang yang mencintai saya. 

Seharusnya saya tumbuh menjadi manusia yang lebih dewasa. Bukan semakin menjadi dulu, saat masih ada angka '1' di depan bilangan umur saya. Saya seharusnya malu. Malu pada kekurangan orang lain, saat justru saya tanpa perlu berdarah-darah, ada ditempat yang nyaman. Ya, sayalah makhluk yang tidak bisa bersyukur itu.

Maafkan. Maafkan saya yang telalu mabuk dalam gelegak darah muda saya. Saya yang takut akan mati besok sebelum saya memberi arti lebih pada kepakan sayap yang lain, padahal mungkin, tanpa setahu saya, angin itu tetap bergerak seperti dahulu yang telah digariskan.

-bukanlah wajar jika tak mengeluh, tapi sudah seharusnya keluh pun bertoleransi. aku luruh lagi Tuhan, karena Kau yang Maha Bijaksana atas segala. dan aku lah, akulah rumput pias itu. maka terima kasih, Tuhan. terima kasih.

_Novie