Friday, December 3, 2010

Surat Untuk Pangeran Gusti

...menghitung suluh terakhir, lalu cari lagi, mumpung pasar masih buka, masih bisa terima kepeng perunggu, dan si mbok masih mau makan gaplek.

mirisku pangeran gusti...kudanya jangan hanya lewat saja, datangi kami sambil membawa tampah berisi hasil bumi.
bukan perut yang lapar, tapi hati, karena kami masih manusia hingga saat ini, entah lewat tengah malam nanti, padahal tinggal dua belas menit lagi.

lihat pangeran gusti, gagaknya sudah ribut. tadi sore hanya satu. kini sudah lima belas. ya, aku menghitungnya sedari tadi. sedari si mbok mengeluh pegal kaki, sedari kami menyender pada tubuh beringin ini.
lalu, apakah gagak itu penanda kematian kami, pangeran gusti? sinuhun yang tampan rupa dan tegap raga?

....tidaklah kami menyesal menempelkan kening kami pada tajam kerikil di jalan ini, semasa kau lewat, wahai sinuhun. kami hanya khawatir, kelak saat kau terlalu mengacuhkan kami, kami bisa lebih kasar dari pada musuh pemisah kepala itu. dan kau lah pangeran gusti, yang bertanggung jawab atas helai rambut kusut dan ringkih kami.

lalu, pangeran gusti. itu keris di pinggang untuk apa? itu emas di atas rambut untuk apa? jangan melarikan diri dengan menghilangkan nyawa pangeran gusti. tidak baik. nanti gusti Tuhan marah. nanti pangeran bisa celaka. nanti neraka sesak. padahal kami sudah pesan kapling disana. harus antri, pangeran gusti. harus antri.

....apa ini pangeran gusti? surat kalah perang? kami kan belum berperang. kecuali pada diri kami sendiri. itu memang setiap hari. lalu jangan berikan kepada kami selembar pun. kami buta aksara. kami tak mampu menelaah. kami hanya sekelompok penggemar ludruk dan sinden. bukan priyayi sekolahan. kami manut saja atas titah pangeran gusti. kalau kehendak pangeran gusti ingin mengurangi jenis kami, ya, kami manut saja. kami setia.


putarannya kekanan, pangeran gusti. ini lho, yang pake tambang tebal. nanti kalau tiba waktunya, tinggal ditarik saja tuasnya. tenang saja. kami sudah menutup kepala dan hati. jadi, pangeran gusti bisa dengan mudah melakukannya. kami janji tak akan menjerit. sumpal di mulut ini demikian kokoh. kami tak akan mengeluarkan helaan nafas pun.

baiklah. selamat tinggal pangeran gusti. sampai ketemu di bumi yang lain. kami duluan. mau menyiapkan peraduan untuk pangeran gusti. peraduan yang sejuk. yang kokoh. yang berbantalkan bulu angsa yang empuk. serta segelas air kendi disampingnya. nanti kami juga akan menyewa bidadari. biar bisa mengipasi pangeran gusti, supaya tidak gerah.

kalau begitu, kami pamit. mohon diri, pangeran gusti.


_Jakarta : 02.12.2010/23.15