Thursday, February 24, 2011

Kepada Pemilik Nama : Lelaki

Ah...benar, saya sangat suka kemahiranmu merangkai kata.
saat kita berbicara, saat kita tertawa, bertengkar, bertukar isyarat,
pun matamu sangat pandai mencumbu seluruh bagian tubuhku.
dan aku menikmatinya.

Tidak perlu melihat rupamu dengan jelas,
saat bulan malu-malu hadir malam ini,
karena dalam gelap, tangan kita saling bertaut.

Datang lagi ya, nanti malam..
kita berseluncur lagi, balapan dengan embun.
lalu lihat, siapa yang paling dulu menyapa matahari,
dan hadiahnya yang selalu kita tunggu setelah perpisahan panjang.

kecupmu bibirku.
kecupku bibirmu.
bibir kita.


Jakarta_24.02.2011

Wednesday, February 23, 2011

Kisah Tentang Bunuh Diri

Kerlipan malam mulai patuh menyenggamai bulir keringat di ujung hidung.
Ya, hidung yang sama seperti 15 tahun yang lalu, hanya saja, sudah berubah bentuk.
Operasi plastik.

Bau asap dupa mulai menyeruak.
Ritual ini sudah dipersiapkan sejak dua tahun yang lalu.

Ritual bunuh diri.

Di altar sudah tersedia silet yang baru dibelinya dari supermarket.
Pisau dapur.
Jarum suntik, yang sudah dilumuri racun.
Sejumput kokain.
Sepiring udang goreng.
Dan sebotol vitamin C dosis tinggi.

Dipandanginya satu-satu benda-benda yang akan mengantarnya bertemu maut.
Yang mana yang paling sedikit menimbulkan rasa sakit.
Bahkan kalau bisa, jangan sampai ada rasa sakit.
Tapi, tunggu sebentar.
Apa masih sempat, memikirkan rasa sakit?
Bukankah bunuh diri ini justru untuk menghilangkan rasa sakit?
Ah, peduli amat! Mana saja tak masalah!

Pengecekan terakhir.
Wasiat di rekaman video, siap.
Uang gaji terakhir untuk Bapak, Ibu dan adik-adik dikampung, siap.
Surat cinta untuk kekasih tercinta, dan selingkuhan tersayang, siap.
Surat teror untuk musuh-musuh, siap.
Tips untuk pemilik kosan, upah menemukan mayat, siap.
Amplop untuk sedekah masjid dan panti asuhan, siap.


Yak!
Sekarang saatnya.
Selamat tinggal dunia sok suci.
Neraka agung sudah menunggu.
Lambaian bidadari-bidadarinya tak kalah birahi dengan yang disediakan surga.
Baiklah.
Mari mulai!.




_Novie Andi

Tuesday, February 22, 2011

Hasil Ngelamun

Pagi ini terbangun dengan kondisi badan yang sama sekali tidak fit. Lemes, ngantuk, lunglay, senggol-dikit-ngglundung..daaan sebagainya. But tonight is worth. I've found a lot of  facts. Hal-hal yang nyata, yang ternyata memang terjadi ada maksudnya.

Tentang hidup, cinta dan Tuhan.

Sadar. Sampai saat ini, belum benar-benar memaknai ketiga hal tersebut. Apa sih hidup itu? Apa itu cinta? dan kenapa ada Tuhan?

Tadi malam (meminjam istilah teman) tentang titik balik. Titik balik dari saya. Seorang manusia, yang ternyata adalah benar, seorang manusia. Yang hakikatnya, adalah kumpulan dari baik dan buruk. Seorang pengumpul dosa dan pahala. Seseorang yang nyata-nyata bukan berasal dari tinja hewan primata yang seiring waktu akan berubah menjadi ras yang mumpuni. Manusia adalah manusia. Primata adalah primata. Bebek adalah bebek.

Tuhan

Saya adalah seorang manusia (dengan bangga kini saya memakai kata itu), yang dehidrasi akan Tuhan, sekaligus sok kuat tanpanya. Mungkin takabur, sok, sombong atau sangat niat untuk membangkang atas ketentuannya.

Tapi tampaknya Tuhan sudah dengan baiknya sayang sama saya. Dijaganya benar aib saya. Dijaganya benar hidup saya. Dijaganya benar hal-hal yang berharga untuk saya. Tapi saya malah sangat gemar melupakannya. Saya adalah pembohong besar! Karena berani menyembahnya bersamaan dengan mematinya hati saya.

Terlebih, saya sangat percaya akan surga dan neraka. Padahal saya tidak tau tempat seperti apa itu. Apakah sama seperti yang di gembor-gemborkan di kitab suci? Atau hanya dongeng belaka, untuk menakut-nakuti manusia, agar jangan jadi pembangkang. Saya hanya percaya pada hal gaib. Sama seperti percayanya saya, pada ke-eksisan pocong dan kuntilanak.

Cinta

Cinta itu apa sih? Hal yang membutakan? Mungkin. Hal yang menenangkan? Mungkin. Hal yang menakutkan? Mungkin. Cinta punya banyak kemungkinan. Dan saya selalu terjebak dalam kemungkinan yang salah. Ah, bukan saatnya menggerutu. Yang disesali itu selalu menyesakkan. Jadi buat apa dipikirkan. Gunung pasti akan habis dimakan manusia karena cinta. Laut akan kering disedot manusia, karena cinta. Tanah pasti akan tak guna, karena cinta. Semua hal yang pada akhirnya akan merugikan manusia itu, kini diatas namakan 'karena cinta'.

"Kalau saya tidak begini (mencuri, membunuh, merampok) keluarga saya tidak bisa makan", ini karena cinta pada keluarga.
"Kami melakukan ini (perselingkuhan, hubungan diluar nikah, sex bebas)", karena cinta pada kekasih.
"Kami melakukan ini (jihad, bom bunuh diri, demo)", karena cinta pada keyakinan.

Kalau cinta bisa sekaligus menjadi mulia dan busuk pada satu waktu, lalu esensi dari cinta itu apa?

Kalau sampai saat ini saya memilih untuk diam, baiklah saya katakan, "Itu karena cinta".


Hidup

Baru beberapa bulan yang lalu, saya setuju atas celetukan diam-diam dalam kepala saya."Saya mempekerjakan otak kiri, untuk menghidupi otak kanan".

Hidup itu penuh dengan prioritas. Penuh dengan tantangan. Penuh dengan kebohongan. Penuh dengan 'lokalisasi' pembenaran. Hidup itu sejatinya adalah munafik! 

Hmm....saya selalu bersyukur, dalam hati, dalam ucapan, biarlah sekiranya orang akan mengira saya sombong. Setidaknya itu adalah sifat manusia. Dan saya masih manusia. Masih menuai dan menelan semua hal yang terjadi bulat-bulat, secara penuh, lalu mencernanya dengan otak kecil saya.

Ada yang bilang saya aneh, abnormal bahkan gila. Hey! Ada yang salah kalau saya justru menikmati julukan-julukan itu? Saya rasa tidak. Karena menjadi aneh, abnormal sekaligus gila, adalah kebebasan untuk saya. Coba perhatikan orang gila yang ada  di jalanan. Tanpa baju, hidup dalam dunia sendiri, bebas mau makan apa, terserah mau tidur dimana, dan tidak perlu pusing memikirkan tentang dunia keparat ini! Iya sih, saya tidak plek  sama dengan orang gila di jalanan itu, saya hanya gila di pikiran dan imajinasi saya. Yang kini, justru sedang liar-liarnya.

Saya terlahir sebagai pemberontak atas segala hal yang dianggap 'normal', padahal saya dibentuk sebagai orang baik-baik dengan sempurna oleh  keluarga tercinta. Ayah yang keras mendidik saya, dengan  menjadikan saya 'anak lelaki' pertama dalam keluarga,  Ibu yang dengan lembut, diam-diam mencintai saya dengan segala omelan pagi-siang-sore-malamnya, adik-adik yang sering saya 'kerjai' semata-mata untuk menerima limpahan emosi saya yang menggelegak, juga saudara-saudara yang sering saya 'tipu' dengan tingkah laku manis saya. Tapi merekalah, yang justru mengenal saya dengan sejujur-jujurnya. 

Tapi, dari semua kejadian selama hitungan mundur puluhan tahun kebelakang, saat saya di daulat untuk boleh menjalani hidup di alam ini, nyata-nyata saya tetap tersungkur pada Tuhan. Terutama saat saya merasa mulai kehilangan diri saya. Ah, saya memang berubah rapuh saat bertemu Tuhan. Padahal memuja-muji namaNya saja saya sangat jarang, hanya datang saat butuh. Tapi nyatanya (lagi) Tuhan tidak pernah meninggalkan saya sendirian.
Saya dibuatNya  jatuh cinta. Benar-benar jatuh cinta. Lewat surat cintaNya, lewat nyanyian-nyayian para pemujaNya, lewat semua isyarat tersurat-tersiratNya, lewat mata para pendosa, lewat gerak para pencuri, lewat lenguhan para pelacur dan lewat gerakan lirih para pengamen kecil di perempatan-perempatan jalan.


Cinta, hidup dan Tuhan.


Saya tahu sekarang, untuk apa saya hadir disini dan kepada apa saya kembali.



_Jakarta, 24.11.2010

Terima Kasih

Pagi tadi saya membaca cerita di http://oase.kompas.com/read/2011/02/16/19085042/Kisah.Hebat.Gadis.Pemulung.Dibukukan tentang seorang gadis pemulung yang kisah hidupnya dibukukan. Seorang gadis Bali bernama Ni Wayan Mertayani (16) yang memenangkan penghargaan lomba foto internasional yang diadakan oleh Museum Anne Frank di Belanda. Ni Wayan yang biasa dipanggil Sepi ini, adalah seorang gadis istimewa. 

Kenapa? Ya. Dia cuma gadis biasa, yang banyak kita temukan ada di Indonesia, berasal kalangan keluarga yang bisa dibilang, sangat kekurangan (ini juga sudah biasa kita lihat di Indonesia--saya menulis ini dengan miris : membiasakan membiarkan diri melihat 'orang susah' dengan mengesampingkan nurani). Tapi saya, dengan bangga bilang kalo dia 'istimewa'. Bukan karena kisah hidupnya yang dibukukan. Tapi karena dia mau mengambil kesempatan yang datang padanya. Menyikapi dengan serius. Percaya diri. Dan tidak memakai topeng apapun, hanya jadi dirinya sendiri.

Sekarang coba tanya sama diri sendiri. Dari beberapa kalimat diatas yang berkaitan dengan 'mengambil kesempatan', sudah pernah belum sih kita lakukan? Ini sebenarnya lebih ke arah sindiran saya terhadap diri sendiri. 


Banyak lomba-lomba penulisan, banyak tawaran kerjasama menulis, banyak media-media elektronik dan media massa yang 'melambai-lambai' memanggil saya untuk mengadu nyali -berani gak sih, karya saya dinilai?-. Tapi, lagi dan lagi, semangat itu hanya membara di awal, pada pertengahan sudah melempem, dan akhirnya, hangus, hilang, lenyap, moksa!

Ya. Saya teralu pengecut untuk mengambil tawaran-tawaran itu. Bukan tidak percaya diri. Bukan tidak mau. Saya hanya pengecut! Padahal saya sangat ingin. Benar-benar sangat ingin, suatu saat saya tidak melulu mengoleksi buku-buku karya orang lain. Saya ingin punya buku, dengan nama saya tercantum di sampul bukunya, sebagai pengarang, sebagai penulis.

Jadi ingat pembicaraan dengan senior tadi saat sambil menunggu busway yang akan membawa saya ke kantor. Dia bilang, 'Jadi, setelah lulus S1, targetnya apa lagi nih?'. Saya terdiam lama. Sebenernya sepersekian detik setelah pertanyaan itu terlontar, jawaban yang ada di pikiran saya adalah, 'Saya mau bikin buku, setidaknya satu saja, sebelum penempatan'. Tapi itu hanya mengendap saja. Alih-alih saya menjawab, 'Kalo disana (di luar negeri) kita bisa gak sih kerja sambil ngelanjutin S2?'. Deng! That's not come from my heart!

Tapiiiiii...gara-gara baca kisah Sepi tadi, saya jadi (sedikit) termotivasi. Dan jadi ingat perkataan Papa dulu, waktu saya masih kecil, "Kalau orang lain bisa, kenapa kamu tidak?".

Ya, kalau orang lain bisa, kenapa saya tidak? ^_^