Thursday, May 5, 2011

Karena Hujan

Hari ini hujan sedari pagi. Langit Jakarta berwarna kelabu kusam. Udara juga terasa dingin. Tapi, ternyata tidak seperti dalam hatiku. Aku merasa panas. Panas yang kemarau...

Ada sekelumit rindu yang menyeruak pada kegelisahanku. Aku rindu saat hujan menekan sisi kepalaku. Memaksa pori-pori kulitku menerima penuh limpahan air yang seolah tiada henti. Lalu menentramkanku dalam gigil yang nikmat. Ah..ya, disini hujan terlalu ramai. Terlalu berbahaya. Karena disini aku tidak bisa berlari leluasa sambil merentangkan tanganku. Menyusur lapisan tanah yang tergusur sambil menari bersama angin. Disini sudah penuh dengan jutaan besi egois yang ditunggangi manusia yang tak kalah egoisnya. Aku tak merasa bebas lagi.

Lalu aku rindu pada kecupmu.

Ciuman pertamaku yang kau rampas dengan paksa. Lidahmu yang bermain dalam mulutku. Menghisap pelan segala egoku dan membuat tanganku pasrah membelai belakang kepalamu. Nafasmu yang terasa tawar dan beraroma rokok Marlboro..ah, dan juga ada sedikit rasa kopi hitam. Aku rindu bibir itu.

Ya, semua terjadi karena hujan.

Kita bertemu setelah hujan reda. Bercinta juga setelah hujan reda. Dan berpisah..setelah hujan reda.

Aku tak pantas menyebutmu kekasih. 
Walau kadang tubuh ini bergetar saat mulai mengeja namamu. Merindukan suara manjamu. Menemanimu sampai terlelap. Membayangkan seolah aku ada disana memeluk tubuh hangatmu. Ah..aku tetap bukan seorang kekasih bagimu. Karena sesungguhnya aku sudah berkasih dengan seseorang yang lain. Yang kupanggil kekasih. Yang memanggilku kekasih. Yang berujar cinta padaku, dan aku yang selalu belajar untuk mencintainya. Sialnya. Kau selalu membuatku  kembali pada kenangan saat hujan datang.

Kini katakan dengan jelas. Kalau hari ini hujan tak jua berhenti, apakah aku harus berlari menujumu, meredakan gumpalan kegusaranku, supaya besok matahari bisa terik lagi? Lalu, relakah kau, bila aku menjadi bisu atas pernyataan hatiku terhadapmu? 

Aku rindu pada hujan setiap saat, sebanyak air yang jatuh itulah, limpahan rasaku padamu. 

Tapi aku akan menikah.
Harus menikah. 
Dengan seseorang yang kupanggil kekasih, dan yang memanggilku kekasih. Atas nama janji.Atas nama masa. Atas nama rasa. Kekasih itu bukan kau. Bukan kau yang melenguh menyebutku sayang saat kita khusyuk dalam peluh. Dia. Dia yang tak pernah kulihat wajahnyalah yang berhak atasku.
Bukan kau.

Ah. Lalu semua ini lagi-lagi karena hujan.
Karena hujan.



to be continue...

1 comment:

  1. hujan, selalu ada cerita menarik di baliknya ya :)
    suka dengan tulisan-tulisannya

    dan menunggu kelanjutan dari setiap episodenya

    salam

    ReplyDelete